Sureq Galigo, yang sering disebut I Lagaligo atau Lagaligo
ini , mengisahkan mitologi asal manusia
Bugis, yang bermula di tanah Luwuq. Beberapa pakar sastra dan kebudayaan menilai Lagaligo sebagai
naskah terpanjang di dunia, lebih panjang daripada Mahabharata karya Khrisna
Dwaipaya Viyasa dan Ramayana karya Valmiki dari India, serta Illia dan Odyssey
karya Homerus dari Yunani.
Karya klasik orang Bugis ini pada pertengahan tahun 2011
mendapat pengakuan sebagai Memory of the World, warisan dunia, yang
dianugerahkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization), salah satu badan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Ini berarti,
menurut Dr. Muhlis Paeni (2011), dunia mengakui bahwa di tanah Bugis pernah
lahir sebuah peradaban besar.
Lagaligo, yang semula dituturkan secara lisan, diperkirakan
telah ada sebelum abad ke-14. Pada zaman itu hikayat sastrawi ini disampaikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya berdasarkan daya ingat penuturnya. Oleh karena itu
berbagai versi hadir di tengah masyarakat.
Tempo doeloe syair Lagaligo
dinyanyikan dalam irama tertentu dan
diiringi dengan musik. Sejumlah orang duduk menikmati keindahan dan
kesakralan alunan nyanyian pembawannya yang memukau . Para pendengar pun
terbawa dalam suasana yang asyik-melarutkan. Tatkala aksara Bugis ditemukan,
mulailah babak baru Lagaligo sebagai sastra tulis, yang jalan bersama dengan
budaya sastra lisan.
Hikayat Lagaligo ini
bercerita tentang manusia Bugis, yang bermula di tanah Luwuq, yang kemudian
dalam sejarah dikenal sebagai kerajaan
tertua orang Bugis. Di awal cerita dikisahkan bahwa Patotoqe , dewa tertinggi
yang bersemayam di Boting Langiq (Dunia Atas)
mendapat laporan dari beberapa orang langit bahwa Dunia Tengah (Ale
Kawaq, bumi) ternyata tidak berpenghuni. Oleh karena itu, disarankan kiranya
Patotoqe mengirim seseorang untuk mengisi kekosongan di Dunia Tengah.
Patotoqe menerima saran itu dan sesuai dengan hasil
musyawarah dia pun mengirim putranya
yang bernama La Togeq Langiq yang
bergelar Batara Guru ke Dunia
Tengah, yang kelak dikenal sebagai dunia
manusia. Alasan penempatan Batara Guru di dunia tengah itu ialah jika bumi
kosong tanpa penghuni, ini berarti tak ada orang yang memuja Dewa Tertinggi.
Tak lama setelah Batara Guru bermukim di bumi
dimunculkanlah Wé Nyiliq
Timoq, puteri Guru Ri Selleng (Dewa bawah laut) dan Sinauq
Toja dari bawah laut untuk menjadi
isteri Batara Guru. We Nyiliq Timoq adalah sepupu sekali Batara Guru. Kedua
pasangan itu melahirkan Batara Lattuq yang kemudian menikah dengan We Datu
Sengngeng. Dari pasangan inilah lahir Sawerigading.
Sawerigading
tidak lahir sendirian. Dia lahir bersama saudari kembarnya, We Tenriabeng.
Sejak lahir keduanya dipisahkan, karena itu adalah pesan Patotoqe, yang tak
boleh dilanggar. Kedua saudara kembar itu tumbuh berkembang hingga dewasa.
Suatu saat Sawerigading melihat We Tenriabeng yang cantik jelita. Dia jatuh
cinta,. Bahkan ingin menikahinya, tapi We Tenriabeng, ayah dan ibunya tidak
setuju, karena adat tidak menghendaki
pernikahan sesama saudara kandung. Kalaupun pernikahan itu dipaksakan, maka
alam akan marah. Musibah akan terjadi. Rakyat akan sengsara. Konflik di
kalangan istana pun merebak.
We
Tenriabeng menyarankan ke Sawerigading, kakaknya, agar melupakan dirinya dan
pergi saja ke kerajaan Cina. Di sana,
ada We Cudai, putri Cina yang rupawan, semolek We Tenriabeng. Setelah berpikir panjang, akhirnya
Sawerigading bersedia ke Cina. Dalam pelayarannya Sawerigading berperang tujuh
kali melawan bajak laut. Tiba di Cina, dia masih juga harus mnenghadapi banyak
tantangan. Namun akhirnya dia berhasil menikahi
We Cudai. Dari pernikahannya itu lahirlah I Lagaligo, yang kemudian memperlebar
jaringan keturunan Batara Guru.
Pada suatu waktu Patotoqe mengadakan pesta besar di Tanah
Luwuq. Seluruh keturunan Batara Guru diundang. Sawerigading dan keluarganya pun
hadir. Seusai pesta, Sawerigading bersama keluarganya gaib ke Dunia Bawah (
Peretiwi). Di sana lahirlah dua orang anaknya, Simpurusia (lelaki) dan Simpuru
Toja (perempuan). Sementara itu di Dunia Atas We Tenriabeng melahirkan
Lettepareppa (lelaki) dan Pateyang Jala (perempuan).
Sepeninggal Sawerigading, bumi kacau-balau. Manusia
dilukiskan bagai ikan yang saling memangsa satu sama lainnya. Dalam frasa Bugis
diistilahkan sianre baleni tauwwe. Untuk mengatasi keadaan itu, diturunkanlah
pasangan suami isteri Lette Pareppa dan Simpuru Toja, namun keduanya tak mampu
menanggulangi kekacauan di bumi itu. Maka diturunkanlah Simpurusia di Luwuq dan
Pateyang Jala di Ware. Kedua suami-isteri inilah yang mengawali sejarah Payung
di kerajaan Luwu.
Memahami
keberadaan Lagaligo sebagai mahakarya (masterpiece) manusia yang lahir di tanah
Luwuq yang berkelas dunia, kiranya dapat
mengantar kesadaran kita
untuk mengakui betapa tingginya kreativitas budaya nenek moyang kita berabad
lalu. Sebagai orang Indonesia, atau lebih khusus lagi sebagai orang Bugis Luwuq,
tidak tertutup kemungkinan muncul
segumpal kebanggaan bahwa nenek moyang kita bukan orang ‘biasa-biasa’ saja.
Namun demikian, apakah cukup sampai di situ ? Terpukau dengan kejayaan masa
lalu yang sudah sekian ratus tahun digilas waktu ? Biarlah pertanyaan itu
menjadi bahan renungan bagi kita semua ***
(Nunding Ram)