Wednesday, February 13, 2013

LAGALIGO DAN KITA




Sureq Galigo, yang sering disebut I Lagaligo atau Lagaligo ini , mengisahkan mitologi  asal manusia Bugis, yang bermula di tanah Luwuq. Beberapa pakar sastra  dan kebudayaan menilai Lagaligo sebagai naskah terpanjang di dunia, lebih panjang daripada Mahabharata karya Khrisna Dwaipaya Viyasa dan Ramayana karya Valmiki dari India, serta Illia dan Odyssey karya Homerus dari Yunani.
Karya klasik orang Bugis ini pada pertengahan tahun 2011 mendapat pengakuan sebagai Memory of the World, warisan dunia, yang dianugerahkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), salah satu badan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Ini berarti, menurut Dr. Muhlis Paeni (2011), dunia mengakui bahwa di tanah Bugis pernah lahir sebuah peradaban besar.
Lagaligo, yang semula dituturkan secara lisan, diperkirakan telah ada sebelum abad ke-14. Pada zaman itu hikayat sastrawi ini disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya berdasarkan  daya ingat penuturnya. Oleh karena itu berbagai versi hadir di tengah masyarakat.  Tempo doeloe   syair Lagaligo dinyanyikan dalam irama tertentu dan  diiringi dengan musik. Sejumlah orang duduk menikmati keindahan dan kesakralan alunan nyanyian pembawannya yang memukau . Para pendengar pun terbawa dalam suasana yang asyik-melarutkan. Tatkala aksara Bugis ditemukan, mulailah babak baru Lagaligo sebagai sastra tulis, yang jalan bersama dengan budaya sastra lisan.
 Hikayat Lagaligo ini bercerita tentang manusia Bugis, yang bermula di tanah Luwuq, yang kemudian dalam sejarah dikenal sebagai  kerajaan tertua orang Bugis. Di awal cerita dikisahkan bahwa Patotoqe , dewa tertinggi yang bersemayam di Boting Langiq (Dunia Atas)  mendapat laporan dari beberapa orang langit bahwa Dunia Tengah (Ale Kawaq, bumi) ternyata tidak berpenghuni. Oleh karena itu, disarankan kiranya Patotoqe mengirim seseorang untuk mengisi kekosongan di Dunia Tengah.
Patotoqe menerima saran itu dan sesuai dengan hasil musyawarah dia pun mengirim  putranya yang bernama La Togeq Langiq  yang bergelar Batara Guru  ke Dunia Tengah,  yang kelak dikenal sebagai dunia manusia. Alasan penempatan Batara Guru di dunia tengah itu ialah jika bumi kosong tanpa penghuni, ini berarti tak ada orang yang memuja Dewa Tertinggi.
Tak lama setelah Batara Guru bermukim di bumi dimunculkanlah  Wé Nyiliq
Timoq, puteri Guru Ri Selleng (Dewa bawah laut) dan Sinauq Toja  dari bawah laut untuk menjadi isteri Batara Guru. We Nyiliq Timoq adalah sepupu sekali Batara Guru. Kedua pasangan itu melahirkan Batara Lattuq yang kemudian menikah dengan We Datu Sengngeng. Dari pasangan inilah lahir Sawerigading.
               Sawerigading tidak lahir sendirian. Dia lahir bersama saudari kembarnya, We Tenriabeng. Sejak lahir keduanya dipisahkan, karena itu adalah pesan Patotoqe, yang tak boleh dilanggar. Kedua saudara kembar itu tumbuh berkembang hingga dewasa. Suatu saat Sawerigading melihat We Tenriabeng yang cantik jelita. Dia jatuh cinta,. Bahkan ingin menikahinya, tapi We Tenriabeng, ayah dan ibunya tidak setuju, karena  adat tidak menghendaki pernikahan sesama saudara kandung. Kalaupun pernikahan itu dipaksakan, maka alam akan marah. Musibah akan terjadi. Rakyat akan sengsara. Konflik di kalangan istana pun merebak.
               We Tenriabeng menyarankan ke Sawerigading, kakaknya, agar melupakan dirinya dan pergi saja ke  kerajaan Cina. Di sana, ada We Cudai, putri Cina yang rupawan, semolek We Tenriabeng.  Setelah berpikir panjang, akhirnya Sawerigading bersedia ke Cina. Dalam pelayarannya Sawerigading berperang tujuh kali melawan bajak laut. Tiba di Cina, dia masih juga harus mnenghadapi banyak tantangan. Namun  akhirnya dia berhasil menikahi We Cudai. Dari pernikahannya itu lahirlah I Lagaligo, yang kemudian memperlebar jaringan keturunan Batara Guru.
Pada suatu waktu Patotoqe mengadakan pesta besar di Tanah Luwuq. Seluruh keturunan Batara Guru diundang. Sawerigading dan keluarganya pun hadir. Seusai pesta, Sawerigading bersama keluarganya gaib ke Dunia Bawah ( Peretiwi). Di sana lahirlah dua orang anaknya, Simpurusia (lelaki) dan Simpuru Toja (perempuan). Sementara itu di Dunia Atas We Tenriabeng melahirkan Lettepareppa (lelaki) dan Pateyang Jala (perempuan).
Sepeninggal Sawerigading, bumi kacau-balau. Manusia dilukiskan bagai ikan yang saling memangsa satu sama lainnya. Dalam frasa Bugis diistilahkan sianre baleni tauwwe. Untuk mengatasi keadaan itu, diturunkanlah pasangan suami isteri Lette Pareppa dan Simpuru Toja, namun keduanya tak mampu menanggulangi kekacauan di bumi itu. Maka diturunkanlah Simpurusia di Luwuq dan Pateyang Jala di Ware. Kedua suami-isteri inilah yang mengawali sejarah Payung di kerajaan Luwu.
               Memahami keberadaan Lagaligo sebagai mahakarya (masterpiece) manusia yang lahir di tanah Luwuq yang berkelas dunia, kiranya dapat  mengantar           kesadaran kita untuk mengakui betapa tingginya kreativitas budaya nenek moyang kita berabad lalu. Sebagai orang Indonesia,  atau  lebih khusus lagi sebagai orang Bugis Luwuq, tidak  tertutup kemungkinan muncul segumpal kebanggaan bahwa nenek moyang kita bukan orang ‘biasa-biasa’ saja. Namun demikian, apakah cukup sampai di situ ? Terpukau dengan kejayaan masa lalu yang sudah sekian ratus tahun digilas waktu ? Biarlah pertanyaan itu menjadi bahan renungan bagi kita semua ***   (Nunding Ram)
              

Selamat Jalan ‘Bunganna Korintigia’ In memoriam Haji Hamzah Dg Mangemba



                                      Oleh  Nunding Ram

            Jidatku masih terasa dingin oleh sentuhan ubin Mesjid Ikhtiar II saat Bung  Lukmanul Hakim Jaya  menyampaikan berita duka : “Pak Emba telah meninggal dunia “.Aku tercenung sesaat. “Innalillahi wa inna ilahi rojiun” --- dariNYA kita berasal, kepadaNYA kita semua akan kembali. Lelaki tua itu pun akhirnya berpulang kerahmatullah setelah sekian lama menantikan pertemuan-sucinya dengan Sang Kekasih. Pak Emba memenuhi panggilanNYA tepat pada hari pertama bulan suci  Ramadhan 2005.
            Di depanku saat ini kutatap wajah Pak Emba, yang dimuat dalam bukunya Takutlah pada Orang Jujur ( 2002,suntingan Dahlan Abubakar dan Hasrullah). Tenang sekali raut muka lelaki yang dilahirkan kurang-lebih 82 tahun lalu di Tinambung, Polmas itu. Sorot matanya seolah mengajakku memasuki lorong waktu sambil menyaksikan episode demi episode kehidupan yang dia, aku, dan Anda pernah lalui bersama.
            Para warga almamater universitas Hasanuddin --- mahasiswa, karyawan, dosen dan alumni --- tentulah akan selalu mengenang Pak Emba, yang telah meninggalkan sekian banyak memori indah dalam taman ingatan mereka. Betapa tidak, almarhum pernah mengabdi di universitas ini selama puluhan tahun sebagai dosen dan pejabat yang sederhana, tekun, dan sabar. Ketiga sifat inilah yang amat menonjol dalam pribadi Pak Emba. Tiga  sifat itu dengan mudah terbaca saat kita bercakap, berdebat dan bercanda, serta bergaul  dengan beliau. Tiga  sifat itu pulalah yang merupakan teladan dan warisan yang ditinggalkannya bukan hanya bagi para mahasiswanya, tapi juga bagi siapa saja yang pernah ’bersentuhan’ dengannya.
            Sekitar tiga puluh tahun lalu. Itulah mula persentuhanku dengan Pak Emba, begitu kami para mahasiswa menyapanya. Berbeda dengan sebagian orang lainnya, yang tampak amat memuliakan penampilan --- busana, perhiasan, dan mobil mewah ----, Pak Emba selalu dan selalu saja tampil sederhana. Dia memang tipe seorang guru, seorang bapak yang tidak pernah mau menampakkan kelebihan material yang bernuansa duniawi. Namun demikian, tidak berarti beliau berada di ’garis bawah’ pemilikan materi. Dia bukan orang miskin dalam pengertian tidak punya apa-apa. Pak Emba berada, menurut hemat saya, pada ’garis tengah’--- tidak kaya, tapi tidak juga miskin. Dia memiliki kebersahajaan yang luar biasa  atau, meminjam istilah Prof. Radi A.Gany, semacam the power of simplicity.  Subhahanallah!
            Ketekunan Pak Emba, khususnya dalam menapaki karir sebagai penulis dan budayawan patut menjadi teladan, terutama bagi generasi muda. Dalam susah dan senang dia tetap mengarang. Sejak tahun 50-an hingga masa tuanya dia tetap menggoreskan penanya. Karangannya menyangkut kesenian, sejarah, dan kebudayaan bertebaran di berbagai media. Saat belajar di University of Hawaii, atas budi baik Prof.Basri Hasanuddin, saya sempat menemukan sejumlah buku Pak Emba dalam perpustakaan kampus Manoa. Resah-rinduku akan kampung halaman yang begitu jauh terasa terobati tatkala  membaca karya-karya Pak Emba di rantauan.
            Kepiawian Pak Emba dalam bidang kebudayaan dapat dilihat pada banyak tulisan ilmiah, tesis dan disertasi  --- baik yang dikarang oleh orang pribumi maupun orang asing . Nama Pak Emba dalam karangan para ilmiawan budaya tersebut pastilah ada dalam Daftar Pustaka. Memang patut diakui, berbicara tentang kebudayaan Sulawesi Selatan nama H.D.Mangemba berada pada papan atas bersama Prof.Mattulada dan Prof.A.Zainal Abidin Faried. Ketiganya merupakan tritunggal yang selalu kompak dalam mempertahankan benteng kebudayaan Sulawesi Selatan dari gempuran ’luar’ yang
ingin mencederai sukma dan raga budaya Bugis-Makassar-Toraja-Mandar.
            Jika kini kota ini bernama Makassar, maka kenanglah barang sejenak bahwa pernah ada tiga pahlawan budaya yang berjuang dengan gigih, bersama para seniman, budayawan dan cendekiawan lainnya, untuk mengembalikan nama Makassar ke tempatnya yang terhormat, yang pernah digusur untuk beberapa tahun lamanya oleh nama Ujungpandang. Mereka itulah tritunggal kebudayaan Sulawesi Selatan ---- H.D.Mangemba, Mattulada dan A.Zainal Abidin Faried. Tanpa cucur peluh mereka sejarah kota ini tentulah akan melewati liku  yang berbeda.
            Dalam rentang puluhan tahun mengenal Pak Emba, ia tak pernah sekalipun menampakkan sikap kasar terhadap para mahasiswanya. Almarhum dekat, akrab dan selalu hangat-bersahabat. Beliau dengan setia menyimpan rapi foto-foto kenangan dengan para mahasiwanya. Sekian banyak album masa lalu tertata apik dalam lemari khususnya. Pada kesempatan tertentu, bila seorang mantan mahasiswa atau teman sejawatnya berkunjung ke rumahnya, Pak Emba akan membuka kembali album lamanya sambil bercerita-ria tentang masa lalu yang begitu indah.
            Sekali waktu di Trafalgar Square, London, di tengah sekian banyak  ragam anak manusia yang sedang bercanda dengan burung-burung merpati, aku merasa begitu kesepian --- sendiri dan terasing. Hari begitu cerah, tapi mengapa hatiku begitu gundah. Rinduku jauh melayang ke Fort Rotterdam, markas besar para seniman-budayawan. Terbayang wajah Arge, Husni Jamaluddin, Arsal Alhabsi , Ishak Ngeljaratan, Anwar Ibrahim, Ramiz Parenrengi, Yacob Marala, Yudistira, dan tentunya saja : H.D.Mangemba.
            Saat itu wajah Pak Emba begitu lekat dalam layar ingatanku. Dan kala hari begitu cerah, sementara burung-burung merpati bercanda-ria itulah kutulis sajak rindu buat Pak Emba. Puisi itu bercerita tentang kesendirian seorang putra Luwu di tanah seberang. Kukirim puisi itu ke Pak Emba di Makassar. Kurang lebih dua minggu kemudian aku menerima balasan darinya.   Sepucuk kartu pos bergambar seorang gadis Bugis menenun sarung sutra. Hatiku terenyuh. Kupaham makna pesan gambar itu: Pak Emba mengirim pesan lewat gambar itu, agar aku memasukkan juga gadis Bugis dalam daftar pilihan calon isteriku, di samping gadis-gadis lain yang mungkin Pak Emba pikir ada dalam benakku. Benar, kurang lebih setahun kemudian saya pulang ke tanah air dan menikah dengan seorang gadis Bugis tradisional, yang posturenya mirip dengan anak dara di kartu pos kiriman Pak Emba.
            ”Bunganna korintigia”, itulah perlambang kepribadian Pak Emba. ”Tena anginna na marunang kale-kale” --- sekutum bunga korintigi yang tanpa anginpun akan tetap gugur ke bumi --- seorang anak manusia yang selalu bersahaja dan ikhlas dalam melaksanakan tugas kemanusiaan, tanpa pamrih apa-apa.  Akhirnya, selamat jalan guruku, sahabat dan cintaku. Dan Ya..Allah terimalah dia di sisiMu dengan segala keindahan, kasih-sayang dan kemahaampunanMu***

                                                                                    Tamalanrea, 12 September 2005