Oleh Nunding Ram
Jidatku masih terasa dingin oleh
sentuhan ubin Mesjid Ikhtiar II saat Bung Lukmanul Hakim Jaya menyampaikan berita duka : “Pak Emba telah
meninggal dunia “.Aku tercenung sesaat. “Innalillahi wa inna ilahi rojiun” --- dariNYA kita berasal, kepadaNYA kita
semua akan kembali. Lelaki tua itu pun akhirnya berpulang kerahmatullah setelah
sekian lama menantikan pertemuan-sucinya dengan Sang Kekasih. Pak Emba memenuhi
panggilanNYA tepat pada hari pertama bulan suci Ramadhan 2005.
Di
depanku saat ini kutatap wajah Pak Emba, yang dimuat dalam bukunya Takutlah pada Orang Jujur (
2002,suntingan Dahlan Abubakar dan Hasrullah). Tenang sekali raut muka lelaki
yang dilahirkan kurang-lebih 82 tahun lalu di Tinambung, Polmas itu. Sorot
matanya seolah mengajakku memasuki lorong waktu sambil menyaksikan episode demi
episode kehidupan yang dia, aku, dan Anda pernah lalui bersama.
Para
warga almamater universitas Hasanuddin --- mahasiswa, karyawan, dosen dan
alumni --- tentulah akan selalu mengenang Pak Emba, yang telah meninggalkan
sekian banyak memori indah dalam taman ingatan mereka. Betapa tidak, almarhum
pernah mengabdi di universitas ini selama puluhan tahun sebagai dosen dan pejabat
yang sederhana, tekun, dan sabar. Ketiga sifat inilah yang amat menonjol
dalam pribadi Pak Emba. Tiga sifat itu
dengan mudah terbaca saat kita bercakap, berdebat dan bercanda, serta
bergaul dengan beliau. Tiga sifat itu pulalah yang merupakan teladan dan
warisan yang ditinggalkannya bukan hanya bagi para mahasiswanya, tapi juga bagi
siapa saja yang pernah ’bersentuhan’ dengannya.
Sekitar tiga puluh tahun lalu. Itulah mula
persentuhanku dengan Pak Emba, begitu kami para mahasiswa menyapanya. Berbeda
dengan sebagian orang lainnya, yang tampak amat memuliakan penampilan ---
busana, perhiasan, dan mobil mewah ----, Pak Emba selalu dan selalu saja tampil
sederhana. Dia memang tipe seorang guru, seorang bapak yang tidak pernah mau
menampakkan kelebihan material yang bernuansa duniawi. Namun demikian, tidak berarti beliau berada di
’garis bawah’ pemilikan materi. Dia bukan orang miskin dalam pengertian tidak
punya apa-apa. Pak Emba berada, menurut hemat saya, pada ’garis tengah’---
tidak kaya, tapi tidak juga miskin. Dia memiliki kebersahajaan yang luar biasa atau, meminjam istilah Prof. Radi A.Gany,
semacam the power of simplicity. Subhahanallah!
Ketekunan
Pak Emba, khususnya dalam menapaki karir sebagai penulis dan budayawan patut
menjadi teladan, terutama bagi generasi muda. Dalam susah dan senang dia tetap
mengarang. Sejak tahun 50-an hingga masa tuanya dia tetap menggoreskan penanya.
Karangannya menyangkut kesenian, sejarah, dan kebudayaan bertebaran di berbagai
media. Saat belajar di University of Hawaii, atas budi baik Prof.Basri
Hasanuddin, saya sempat menemukan sejumlah buku Pak Emba dalam perpustakaan
kampus Manoa. Resah-rinduku akan kampung halaman yang begitu jauh terasa
terobati tatkala membaca karya-karya Pak
Emba di rantauan.
Kepiawian
Pak Emba dalam bidang kebudayaan dapat dilihat pada banyak tulisan ilmiah,
tesis dan disertasi --- baik yang
dikarang oleh orang pribumi maupun orang asing . Nama Pak Emba dalam karangan
para ilmiawan budaya tersebut pastilah ada dalam Daftar Pustaka. Memang patut
diakui, berbicara tentang kebudayaan Sulawesi Selatan nama H.D.Mangemba berada
pada papan atas bersama Prof.Mattulada dan Prof.A.Zainal Abidin Faried.
Ketiganya merupakan tritunggal yang
selalu kompak dalam mempertahankan benteng kebudayaan Sulawesi Selatan dari
gempuran ’luar’ yang
ingin mencederai sukma dan raga budaya
Bugis-Makassar-Toraja-Mandar.
Jika
kini kota ini bernama Makassar, maka kenanglah barang sejenak bahwa pernah ada
tiga pahlawan budaya yang berjuang dengan gigih, bersama para seniman,
budayawan dan cendekiawan lainnya, untuk mengembalikan nama Makassar ke
tempatnya yang terhormat, yang pernah digusur untuk beberapa tahun lamanya oleh
nama Ujungpandang. Mereka itulah tritunggal kebudayaan Sulawesi Selatan ----
H.D.Mangemba, Mattulada dan A.Zainal Abidin Faried. Tanpa cucur peluh mereka
sejarah kota ini tentulah akan melewati liku yang berbeda.
Dalam
rentang puluhan tahun mengenal Pak Emba, ia tak pernah sekalipun menampakkan
sikap kasar terhadap para mahasiswanya. Almarhum dekat, akrab dan selalu
hangat-bersahabat. Beliau dengan setia menyimpan rapi foto-foto kenangan dengan
para mahasiwanya. Sekian banyak album masa lalu tertata apik dalam lemari
khususnya. Pada kesempatan tertentu, bila seorang mantan mahasiswa atau teman
sejawatnya berkunjung ke rumahnya, Pak Emba akan membuka kembali album lamanya
sambil bercerita-ria tentang masa lalu yang begitu indah.
Sekali
waktu di Trafalgar Square, London, di tengah sekian banyak ragam anak manusia yang sedang bercanda
dengan burung-burung merpati, aku merasa begitu kesepian --- sendiri dan
terasing. Hari begitu cerah, tapi mengapa hatiku begitu gundah. Rinduku jauh
melayang ke Fort Rotterdam, markas besar para seniman-budayawan. Terbayang
wajah Arge, Husni Jamaluddin, Arsal Alhabsi , Ishak Ngeljaratan, Anwar Ibrahim,
Ramiz Parenrengi, Yacob Marala, Yudistira, dan tentunya saja : H.D.Mangemba.
Saat
itu wajah Pak Emba begitu lekat dalam layar ingatanku. Dan kala hari begitu
cerah, sementara burung-burung merpati bercanda-ria itulah kutulis sajak rindu
buat Pak Emba. Puisi itu bercerita tentang kesendirian seorang putra Luwu di
tanah seberang. Kukirim puisi
itu ke Pak Emba di Makassar. Kurang lebih dua minggu kemudian aku menerima balasan darinya. Sepucuk kartu pos bergambar seorang gadis Bugis
menenun sarung sutra. Hatiku terenyuh. Kupaham makna pesan gambar itu: Pak Emba
mengirim pesan lewat gambar itu, agar aku memasukkan juga gadis Bugis dalam
daftar pilihan calon isteriku, di samping gadis-gadis lain yang mungkin Pak
Emba pikir ada dalam benakku. Benar, kurang lebih setahun kemudian saya pulang
ke tanah air dan menikah dengan seorang gadis Bugis tradisional, yang posturenya
mirip dengan anak dara di kartu pos kiriman Pak Emba.
”Bunganna korintigia”, itulah perlambang
kepribadian Pak Emba. ”Tena anginna na marunang kale-kale” ---
sekutum bunga korintigi yang tanpa anginpun akan tetap gugur ke bumi ---
seorang anak manusia yang selalu bersahaja dan ikhlas dalam melaksanakan tugas
kemanusiaan, tanpa pamrih apa-apa. Akhirnya,
selamat jalan guruku, sahabat dan cintaku. Dan Ya..Allah terimalah dia di sisiMu
dengan segala keindahan, kasih-sayang dan kemahaampunanMu***
Tamalanrea,
12 September 2005
No comments:
Post a Comment