Wednesday, February 13, 2013

Selamat Jalan ‘Bunganna Korintigia’ In memoriam Haji Hamzah Dg Mangemba



                                      Oleh  Nunding Ram

            Jidatku masih terasa dingin oleh sentuhan ubin Mesjid Ikhtiar II saat Bung  Lukmanul Hakim Jaya  menyampaikan berita duka : “Pak Emba telah meninggal dunia “.Aku tercenung sesaat. “Innalillahi wa inna ilahi rojiun” --- dariNYA kita berasal, kepadaNYA kita semua akan kembali. Lelaki tua itu pun akhirnya berpulang kerahmatullah setelah sekian lama menantikan pertemuan-sucinya dengan Sang Kekasih. Pak Emba memenuhi panggilanNYA tepat pada hari pertama bulan suci  Ramadhan 2005.
            Di depanku saat ini kutatap wajah Pak Emba, yang dimuat dalam bukunya Takutlah pada Orang Jujur ( 2002,suntingan Dahlan Abubakar dan Hasrullah). Tenang sekali raut muka lelaki yang dilahirkan kurang-lebih 82 tahun lalu di Tinambung, Polmas itu. Sorot matanya seolah mengajakku memasuki lorong waktu sambil menyaksikan episode demi episode kehidupan yang dia, aku, dan Anda pernah lalui bersama.
            Para warga almamater universitas Hasanuddin --- mahasiswa, karyawan, dosen dan alumni --- tentulah akan selalu mengenang Pak Emba, yang telah meninggalkan sekian banyak memori indah dalam taman ingatan mereka. Betapa tidak, almarhum pernah mengabdi di universitas ini selama puluhan tahun sebagai dosen dan pejabat yang sederhana, tekun, dan sabar. Ketiga sifat inilah yang amat menonjol dalam pribadi Pak Emba. Tiga  sifat itu dengan mudah terbaca saat kita bercakap, berdebat dan bercanda, serta bergaul  dengan beliau. Tiga  sifat itu pulalah yang merupakan teladan dan warisan yang ditinggalkannya bukan hanya bagi para mahasiswanya, tapi juga bagi siapa saja yang pernah ’bersentuhan’ dengannya.
            Sekitar tiga puluh tahun lalu. Itulah mula persentuhanku dengan Pak Emba, begitu kami para mahasiswa menyapanya. Berbeda dengan sebagian orang lainnya, yang tampak amat memuliakan penampilan --- busana, perhiasan, dan mobil mewah ----, Pak Emba selalu dan selalu saja tampil sederhana. Dia memang tipe seorang guru, seorang bapak yang tidak pernah mau menampakkan kelebihan material yang bernuansa duniawi. Namun demikian, tidak berarti beliau berada di ’garis bawah’ pemilikan materi. Dia bukan orang miskin dalam pengertian tidak punya apa-apa. Pak Emba berada, menurut hemat saya, pada ’garis tengah’--- tidak kaya, tapi tidak juga miskin. Dia memiliki kebersahajaan yang luar biasa  atau, meminjam istilah Prof. Radi A.Gany, semacam the power of simplicity.  Subhahanallah!
            Ketekunan Pak Emba, khususnya dalam menapaki karir sebagai penulis dan budayawan patut menjadi teladan, terutama bagi generasi muda. Dalam susah dan senang dia tetap mengarang. Sejak tahun 50-an hingga masa tuanya dia tetap menggoreskan penanya. Karangannya menyangkut kesenian, sejarah, dan kebudayaan bertebaran di berbagai media. Saat belajar di University of Hawaii, atas budi baik Prof.Basri Hasanuddin, saya sempat menemukan sejumlah buku Pak Emba dalam perpustakaan kampus Manoa. Resah-rinduku akan kampung halaman yang begitu jauh terasa terobati tatkala  membaca karya-karya Pak Emba di rantauan.
            Kepiawian Pak Emba dalam bidang kebudayaan dapat dilihat pada banyak tulisan ilmiah, tesis dan disertasi  --- baik yang dikarang oleh orang pribumi maupun orang asing . Nama Pak Emba dalam karangan para ilmiawan budaya tersebut pastilah ada dalam Daftar Pustaka. Memang patut diakui, berbicara tentang kebudayaan Sulawesi Selatan nama H.D.Mangemba berada pada papan atas bersama Prof.Mattulada dan Prof.A.Zainal Abidin Faried. Ketiganya merupakan tritunggal yang selalu kompak dalam mempertahankan benteng kebudayaan Sulawesi Selatan dari gempuran ’luar’ yang
ingin mencederai sukma dan raga budaya Bugis-Makassar-Toraja-Mandar.
            Jika kini kota ini bernama Makassar, maka kenanglah barang sejenak bahwa pernah ada tiga pahlawan budaya yang berjuang dengan gigih, bersama para seniman, budayawan dan cendekiawan lainnya, untuk mengembalikan nama Makassar ke tempatnya yang terhormat, yang pernah digusur untuk beberapa tahun lamanya oleh nama Ujungpandang. Mereka itulah tritunggal kebudayaan Sulawesi Selatan ---- H.D.Mangemba, Mattulada dan A.Zainal Abidin Faried. Tanpa cucur peluh mereka sejarah kota ini tentulah akan melewati liku  yang berbeda.
            Dalam rentang puluhan tahun mengenal Pak Emba, ia tak pernah sekalipun menampakkan sikap kasar terhadap para mahasiswanya. Almarhum dekat, akrab dan selalu hangat-bersahabat. Beliau dengan setia menyimpan rapi foto-foto kenangan dengan para mahasiwanya. Sekian banyak album masa lalu tertata apik dalam lemari khususnya. Pada kesempatan tertentu, bila seorang mantan mahasiswa atau teman sejawatnya berkunjung ke rumahnya, Pak Emba akan membuka kembali album lamanya sambil bercerita-ria tentang masa lalu yang begitu indah.
            Sekali waktu di Trafalgar Square, London, di tengah sekian banyak  ragam anak manusia yang sedang bercanda dengan burung-burung merpati, aku merasa begitu kesepian --- sendiri dan terasing. Hari begitu cerah, tapi mengapa hatiku begitu gundah. Rinduku jauh melayang ke Fort Rotterdam, markas besar para seniman-budayawan. Terbayang wajah Arge, Husni Jamaluddin, Arsal Alhabsi , Ishak Ngeljaratan, Anwar Ibrahim, Ramiz Parenrengi, Yacob Marala, Yudistira, dan tentunya saja : H.D.Mangemba.
            Saat itu wajah Pak Emba begitu lekat dalam layar ingatanku. Dan kala hari begitu cerah, sementara burung-burung merpati bercanda-ria itulah kutulis sajak rindu buat Pak Emba. Puisi itu bercerita tentang kesendirian seorang putra Luwu di tanah seberang. Kukirim puisi itu ke Pak Emba di Makassar. Kurang lebih dua minggu kemudian aku menerima balasan darinya.   Sepucuk kartu pos bergambar seorang gadis Bugis menenun sarung sutra. Hatiku terenyuh. Kupaham makna pesan gambar itu: Pak Emba mengirim pesan lewat gambar itu, agar aku memasukkan juga gadis Bugis dalam daftar pilihan calon isteriku, di samping gadis-gadis lain yang mungkin Pak Emba pikir ada dalam benakku. Benar, kurang lebih setahun kemudian saya pulang ke tanah air dan menikah dengan seorang gadis Bugis tradisional, yang posturenya mirip dengan anak dara di kartu pos kiriman Pak Emba.
            ”Bunganna korintigia”, itulah perlambang kepribadian Pak Emba. ”Tena anginna na marunang kale-kale” --- sekutum bunga korintigi yang tanpa anginpun akan tetap gugur ke bumi --- seorang anak manusia yang selalu bersahaja dan ikhlas dalam melaksanakan tugas kemanusiaan, tanpa pamrih apa-apa.  Akhirnya, selamat jalan guruku, sahabat dan cintaku. Dan Ya..Allah terimalah dia di sisiMu dengan segala keindahan, kasih-sayang dan kemahaampunanMu***

                                                                                    Tamalanrea, 12 September 2005

            

No comments:

Post a Comment